Sabtu, 14 Desember 2013

Cerita Dalam Ironi

#ARF
Setelah sekian lama aku tidak bertemu dengannya ternyata terasa begitu hambar juga, Ini mirip dengan keadaanku ketika aku masih SMP dulu. Merasa seperti anak kecil yang tidak tahu harus bagaimana dalam menghadapi hidup ini, tidak ada tempat untuk bersandar, selalu menyimpan keluh-kesah dalam diam, selalu menghibur diri dengan tindakan bodoh yang justru merusak kehidupannya, masih seperti yang dahulu kala.

Baiklah kita mulai. Tadi siang sehabis Ujian Akhir Semester Ganjil, secara tidak sengaja aku bertemu dengannya di tangga Mushola Sekolah. Dalam jarak yang cukup jauh aku menangkap raut wajahnya yang agak berantakan. Mungkin karena dia telah diputuskan oleh pacarnya, ya sebelumnya aku melihat berbagai status melalui akun twitternya.

[FlashBack]
Terlukis sebuah rasa sedih dan kecewa bila dilihat dari ungkapan kalimat yang ia torehkan, “Iba” kata yang muncul di hatiku bila melihat dan mencoba untuk memahami apa yang dia rasakan.  “Apa yang akan aku lakukan?” tanyaku dalam hati “apa aku harus memberinya support?”. Dan terjawab dengan santai oleh hatiku “jangan melakukan apapun kecuali untuk terus mengawasinya”. Akupun mengikuti kata hatiku tersebut. Berhari – hari aku selalu mengawasinya melalui akun twitterku. “Cukup”. Sebuah kata yang membuatku untuk bergerak menuliskan sesuatu di twitter, aku sudah tidak tahan dengan kalimat simpulnya yang menandakan bahwa hatinya memang sedang kacau. Hatiku berkata “tuliskan saja kalimat dukungan itu di Akunmu tapi jangan ditujukan untuknya”. Lagi-lagi aku menuruti kata hatiku itu. Memangnya akan berhasil?aku rasa tidak sama sekali. “Bodoh!”.
[EndFlashBack]

Berlanjut ketika aku melihatnya di dekat tangga, aku melambatkan gerkanya kakiku ketika mata kami saling memandang. “Rapuh” Aku melihatnya rapuh, mencoba memahami raut wajahnya dari kejauhan. Yang semula aku tersenyum simpul ketika kami saling memandang, dengan seketika senyumku memudar tanpa kemauanku sendiri. Entahlah aku tidak bisa menjelaskan apa yang ingin dia isyaratkan kepadaku. Dan ketika aku mendekatinya dia melangkah menjauh, ternyata dia sudah mengerti sekarang, jika boleh aku menjelaskan kembali mengapa aku berusaha untuk menjauh dari dirinya, itu karena aku tidak ingin dia tersangkut ke dalam masalahku. Aku hanya ingin yang terbaik untuk kita bersama. Aku berpikir bila aku mendekatinya maka aku akan semakin menyayanginya yang berujung pada rasa cinta terlrang. Jadi aku memutusakan untuk menyudahi persahabatan yang telah dia pupuk dari kelas X. Aku masih ingat, dahulu ketika dia terus berusaha untuk mendekatiku, mencuri segala perhatianku dan berusaha melakukan hal konyol agar aku bisa menertawakannya. Indah memang, tapi aku dan hati kecilku sadar dan mengerti bila aku hanyalah bajingan yang tidak layak menjadi sahabatnya karena aku gay. aku takut bila suatu hari persahabatanku dihancurkan oleh orientasiku sendiri dan semakin memperkeruh suasana saat ini, karena hal itu pernah terjadi ketika aku masih SMP dahulu. “Bodoh!”

Aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan, maafkan aku. Silakan kamu marah, benci bahkan membuangku. Aku bisa menerima hal tersebut dan aku pantas untuk mendapatkan perlakuan itu. Aku hanya tidak ingin membuat hidupmu susah. Coba bayangkan bila aku menjadi sahabatmu, meskipun kita berhasil membuat persahabatan yang membahagiakan, namun hal tersebut bisa runtuh seketika saat kamu mengehui bahwa aku gay, aku tidak ingin itu terjadi.
Oleh karena itu aku berusaha untuk menjauhkan diriku dari hidupmu agar kamu tidak teracuni oleh kebusukanku. Naif memang, tapi lihatlah kesekelilingmu dan tanyakan kepa dirimu, “Apakah mereka bisa menerimaku?” “Apakah ada teman-teman di sekolah yang bisa menerimaku?”, “Apakah lingkungan kita bisa menerima keadaanku dengan tenang?” aku rasa tidak. Karena hal tersebut sangatlah tabu di negara kita, bahkan menyalahi aturan norma kehidupan. Dan Agama kitapun melarang Orientasiku. Bila orangtuaku tau keadaanku, maka mereka siap membukakan pintu lebar-lebar untuk mengusirku dengan senang hati.

Aku pernah mencoba berusaha untuk menjadi normal [menjadi seperti kalian yang tidak perlu menutupi persaannya di kehidupan yang nyata, bebas berekspresi dalam melukiskan cintanya.] ketika aku mempelajari berbagai cara. Belajar menyukai lawan jenis, belajar menerima perasaan antar kehidupan. Namun semua terasa hambar, datar seperti muka kelamku yang selalu aku gunakan sebagai topeng dalam orientasiku. Pernah, ketika aku menjelajah untuk lebih jauh seperti anak remaja dengan menonton “kegiatan itu”. Aku mulai merasa seperti bisa melupakan oriantasiku. Tapi ternyata setelah aku pikirkan lagi, aku hanyalah dihinggapi perasaan ‘nafsu’ saja. Ya perasaan nafsu saja. Aku benci ini! Aku mencari perasaan sayang [untuk mencintai] bukan sekedar nafsu belaka. Dan Aku mengutuk diriku sendiri. Masih sendiri dalam kegelapan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar